KONSEKWENSI TAUHID



Belum lama iedul fithri berselang, tibalah kita jelang iedul Adha.  Jika penekanan ibadah Ramadhan pada sektor eksoteris dan esoteris sekaligus, maka penekanan pada iedul Adha adalah pengorbanan sebagai konsekwensi tauhid. Tauhid tidaklah cukup hanya ditingkat pernyataan (statement). Tauhid menuntut adanya komitmen. Komitmen tauhid adalah konsisten dalam pernyataan dan kenyataan. Tauhid tidak dalam retorika, tetapi mewujud dalam realita.
 
Firman Allah Swt bahwa “ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? (Al-Ankabut : 2 )

Ujian adalah untuk mengetes sejauhmana tingkat loyalitas itu bersemi. Dan, ujian juga mengandung makna persyaratan untuk naik tingkat pada jenjang yang lebih tinggi. Kemudian apa indikatornya bahwa kita sudah naik tingkat atau belum. Mengingat iman itu merupakan perangkat spiritual yang tidak dapat dideteksi oleh teknologi, maka indikatornya adalah berupa aksi nyata dalam kehidupan.
Peran tauhid pada diri sahabat Rasulullah Saw dapat dijadikan rujukan. Mengapa tidak. Tidakkah Sayidah Khadijah r.a, isteri tercinta baginda Rasulullah Saw setelah mengucapkan dua kalimah syahadah hatinya terdorong terus untuk berbuat kebaikan ? Belum ada perintah zakat infaq dan sadaqah, hartanya diserahkan untuk perjuangan ekspansi dakwah Islam. Begitu pula para sahabat yang lain seperti; Abu Bakar, Umar, Usman, Ali, dlsb. Puncaknya adalah jiwa raganya dipertaruhkan dimedan jihad untuk penegakan peradaban Islam.
Dewasa ini, realitas umat manusia dan khususnya umat Islam sedang terbius, terlena dan lalai terhadap eksistensi diri. Mayoritas kita lupa akan hakekat keberadaannya sebagai manusia ber-tauhid. Kita sekarang yang hidup ditengah zaman sekarat ini, dituntut memiliki jiwa yang mampu eksis didunia berhati akhirat. Maksudnya adalah perjalanan hidup didunia ini merupakan jembatan untuk menuju akhirat yang kekal. Dalam hal ini, ajaran Islam hendaknya diterjemahkan kedalam berbagai event yang berdimensi sosial sehingga keterbelakangan umat Islam dan masyarakat pada umumnya dapat terentaskan.
Malam satu Syawal, kita telah mengeluarkan zakat fithrah sebagai kewajiban bagi yang berkemampuan. Panitia zakat sibuk membagikan koleksi zakat fithrah kepada yang berhak menerimanya (mustahiq). Aksi sosial ini merupakan refleksi keimanan yang terpupuk selama Ramadhan. Tidak sedikit jumlahnya kaum fuqara’ masakin yang ikut tersenyum menyambut satu Syawal dengan menikmati sembako yang dibagikan.
Iedul Adha, sebagai kelanjutan untuk meningkatkan aksi sosial membagikan daging korban kepada masyarakat miskin. Panitia iedul Adha berlomba mencari hewan korban dan mendistribusikan daging korban kepada masyarakat miskin. Begitu pula para hujjaj yang sedang menunaikan ibadah haji juga melaksanakan korban disamping membayar dam. Semua hewan korban yang disembelih ditanah suci oleh pemerintah Saudi melalui Bank Rajhi dagingnya didistribusikan ke negara lain seperti ; Afrika, Bangladesh, dlsb.
Dua rangkaian aksi sosial yang tumbuh dari kesadaran iman yaitu ketika iedul Fithri dengan gerakan membayar zakat dan  iedul Adha dengan gerakan menyembelih hewan korban. Kedua aksi sosial tersebut merupakan sebuah cerminan bahwa Islam mengajarkan pada pemeluknya agar peduli terhadap kehidupan sosial masyarakat. Harta benda yang berhasil dikoleksi sebagai kekayaan pribadi, disadari bahwa didalamnya terdapat hak kaum tak berpunya. Itulah sebabnya secara massive kaum muslimin pada hari fithri dan nahar berlomba menggalang nilai kebaikan sosial sebagai refleksi iman.

Sebagai komparasi menuju kebaikan bahwa para sahabat ketika mengawali penegakan Islam di Makkah dengan suka rela mengeluarkan harta benda bahkan nyawa demi eksisnya peradaban Islam. Dengan demikian, apakah dimensi iman kita saat ini mampu mendorong diri kita untuk mencontoh perilaku sahabat Rasulullah Saw tersebut ?
Pertanyaan  tersebut tentu saja akan berlanjut pada suatu pertanyaan bahwa; “ apakah saat ini ada tipe orang seperti sosok Rasulullah Saw ? Jika para sahabat berani mengorbankan harta benda dan jiwa raganya demi eksisnya Islam karena ditengah mereka ada sosok Rasulullah Saw yang menjamin bahwa harapan akhiratnya akan terpenuhi. Kemudian saat ini siapakah gerangan yang dapat menjamin keselamatan jiwa raga kita kelak diakhirat ?
Disinilah letak gamangnya setiap individu muslim dalam melakukan investasi akhirat melalui berbagai aktivitas sosial keagamaan yang digalang oleh individu atau organisasi. Disinilah letak pentingnya gelar al-amien bagi individu atau organisasi dalam berkiprah ditengah masyarakat. Jika demikian, umat tidak akan gamang dalam berkorban. Lebih dari itu, maka diperlukan seorang leader yang memiliki sifat ; jujur (siddiq), tanggung jawab (amanah), komunikatif (tabligh) dan cerdas (fathanah).(Bayan Syahid)
Share this article :

Posting Komentar

Recent Post

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. lintasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger