Strategi Meningkatkan Mutu Diri



Strategi dalam kaitan upaya meningkatkan mutu diri adalah memiliki makna rencana. Rencana dalam hal ini adalah bagaimana menyusun suatu program untuk merubah suatu kebiasaan berpikir tidak produktif menjadi produktif. Maksudnya ialah kebiasaan malas dirubah menjadi rajin. Rajin disini  mengandung arti yang sangat luas. Keluasan arti rajin itu tergantung dari pada sejauhmana kita memaknai suatu nilai kehidupan.
 
Jika kata rajin  dihubungkan dengan suatu makna kehidupan, maka kita terlebih dahulu harus memahami tentang visi hidup kita. Yakni hendak menjadi apakah diri kita ini ? Kata menjadi berarti didalamnya ada suatu proses untuk menjadi. Dengan demikian, menjadi sesuatu terlukis didalamnya ada sesuatu yang diinginkan untuk dicapai dalam hidup ini.
Kira – kira apa visi hidup ini dalam pandangan seorang mukmin ? Kemudian siapakah yang patut dicontoh dan ditauladani dalam membentuk visi hidup ? Tentu saja, bagi seorang mukmin pasti mencontoh visi hidup idolanya yaitu Nabiullah Muhammad Saw. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mungkin kita dapat mengadopsi visi manusia agung seperti Nabiullah Muhammad saw ? Tentu saja bisa. Namun, kita dapat mengadopsi dari sisi visi kerucutnya yaitu menjadi manusia yang diridhai oleh Allah Swt.
Sekarang marilah kita breakdown  bagaimana strategi mencapai ridha Allah Swt tersebut dalam konteks kehidupan nyata. Tentu saja kita telah mendengar, melihat, menyaksikan, dan memahami tentang realitas kehidupan ummat Islam dalam semua aspek kehidupan. Hampir dapat dikatakan semua pembicara pada seminar tingkat international hingga lokal, diskusi dipentas yang bergengsi hingga di lorong kumuh, jika membahas tentang realitas ummat Islam pasti tidak lepas dari pada kemiskinan dan kebodohan. Bagaikan dua sisi mata uang bahwa kebodohan melahirkan kemiskinan dan begitu pula sebaliknya.
Kalau stigma ummat Islam saat ini adalah bodoh dan miskin maka bagaimana strateginya untuk mendongkrak realitas ummat Islam ini ke posisi mulia ? Dan, apakah ummat Islam saat ini bodoh dan miskin semuanya ? Begitu pula apakah struktur intelektual ummat Islam berbeda dengan struktur intelektual non muslim ? Pertanyaan – pertanyaan tersebut marilah kita jawab dengan dengan penuh kearifan dan kesadaran. 
Dari mana kita harus memulai menjawab pertanyaan – pertanyaan tersebut ? Tentu saja kita harus menjawab dengan pola bagaimana wahyu Al-Qur’an diturunkan. Menurut manhaj Sistematika Nuzulnya Wahyu bahwa untuk menyadarkan individu dan kolektif agar memiliki kemampuan untuk ”berubah” dan menjadi ”agen perubahan” diperlukan kesadaran diri dalam menatap dirinya dari sudut posisi diri. Posisi diri kita sebagai follower atau leader ? Jika kita memposisikan diri sebagai follower, maka sampai burung gagak berubanpun kita tidak akan menjadi manusia terhormat. Dan, jika kita memposisikan diri sebagai leader tentu saja kita akan berupaya maksimal untuk menjadi manusia kompetitif dalam semua aspek kehidupan.
Kapankah manusia tersentuh kesadaran untuk bangkit bersyaksi bahwa dirinya sebagai seorang leader ? Fakta sejarah menunjukkan bahwa seorang anak manusia bangkit bersyaksi bahwa dirinya sebagai seorang leader tatkala wahyu pertama turun padanya. Iqra’, bermakna seluas alam semesta yang berdimensi ; bacalah, renungkan, analisis, dan simpulkan !!! Apa yang dibaca ? Apa yang direnungkan ? Apa yang di analisis ? dan Apa pula yang disimpulkan ?
Deretan pertanyaan diatas tentu saja hanya dapat dijawab oleh orang yang sudah memiliki visi hidup dan kehidupan seperti Nabiullah Muhammad Saw. Berat sekali. Pasti berat, karena menjadi seorang leader dituntut berkemampuan untuk dapat mengarahkan dirinya dan ummat manusia menuju jalan yang diridhai oleh Allah Swt. Jika tidak demikian, bukanlah seorang leader kendati dirinya berkuasa laksana Fir’aun dan Namrudz.
Bertolak dari pemikiran dan pemahaman inilah Hidayatullah mengajak semua lapisan masyarakat untuk bangkit menuju posisi leading. Tentu saja, visi leading ini tidak semudah membalik tangan atau bagaikan menunggu durian runtuh. Pencapaian posisi leading itu harus direncanakan dan diperjuangkan bertahap. Rencana besar itu hendaknya dimulai dari diri sendiri yang diretas mulai dari kesadaran bahwa diri kita saat ini adalah bodoh dan miskin. Kondisi ini kita terima bukanlah karena nasib (given)  tetapi karena kita sendiri yang belum menyadari bahwa diri kita selama ini adalah berposisi follower. Akibatnya, kita malas belajar, sehingga tidak produktif, dan tidak kompetitif dalam hidup dan kehidupan.
 Agar kita semua memiliki kemampuan kompetitif dalam hidup dan kehidupan kuncinya adalah ”IQRA’’. Membaca dalam arti seluas – luasnya. Secara sempit membaca dapat diartikan belajar yang ditempuh menurut jenjang pendidikan formal. Pendidikan formal ini dapat mengantarkan diri kita untuk berpikir sistematis dalam perspektif kognitif.  Adapun aspek afektif dapat ditempuh melalui lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Akan tetapi inti dari pada pendidikan lingkungan adalah rumah tangga. Sudahkah rumah tangga kita menjadi lembaga pendidikan yang efektif mengantarkan diri dan anggota menjadi agen perubahan ?Jika belum, maka mimpi menjadi leader tidak akan mewujud. Oleh karena itu, kita harus sadar untuk senantiasa belajar. Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga liang kubur. Begitulah pesan Rasululah saw.  (@Bayan SAHID)
Share this article :

Posting Komentar

Recent Post

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. lintasan - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger